Takarawa62
Takarawa62. Ketika
kendaraan yang Anda tumpangi menyusuri jalanan Pulau Sumba, salah satu
pulau menawan dan alami di Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka hal yang
bisa membuat Anda tertegun adalah betapa banyak kubur batu di pinggir
jalan terpampang. Anda dapat melihatnya di sembarang tempat seperti di
pinggir jalan, di depan halaman rumah warga, di depan kantor
pemerintahan, di lapang terbuka, hingga di perbukitan atau di pesisir
pantai.
Kubur batu merupakan warisan budaya
megalitik di Tanah Sumba yang masih bertahan hingga sekarang bersama
lestarinya agama adat Marapu yang kukuh dipegang warga setempat. Kubur
batu atau batu kubur dalam istilah arkeologi disebut dolmen biasanya berbentuk bejana (kabang) maupun watu pawesi.
Dalam budaya prasejarah, kubur batu merupakan budaya megalitik muda
yang berkembang di Nusantara menjelang tarikh Masehi. Keberadaannya yang
masih lestari di Pulau Sumba merupakan keunikan tersendiri karena mampu
bertahan sejak masa prasejarah tanpa banyak mengalami perubahan.
Kubur batu berkembang di Pulau Sumba
sekira 4.500 tahun lalu. Kubur batu di sini senantiasa dibuat besar dan
megah, selain sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur juga sebagai
cerminan status pemiliknya. Oleh karenanya, bagi masyarakat Sumba, kubur
batu merupakan warisan leluhur yang terus dipelihara dan dipertahankan.
Kubur batu megalitik di Sumba umumnya
berukuran 4 x 2 meter, beratnya sampai puluhan ton, disangga empat tiang
batu, menaungi jenazah yang dikubur di tanah dalam posisi duduk
meringkuk dilapis puluhan kain adat dan ditutup semen. Di atas kubur
batu dibuat penji (tugu batu) dengan beragam ornamen hewan
seperti kerbau, buaya, kura-kura, atau harimau yang melambangkan raja,
ayam atau babi yang menunjukkan kepemimpinan, dan udang yang
melambangkan kehidupan hanya berganti bentuk dunia.
Para peneliti budaya dan arkeolog
meyakinkan bahwa kubur batu di Sumba merupakan satu-satunya pola hias
yang mewakili tradisi pra-sejarah yang masih hidup (living megalithic culture).
Tempat-tempat serupa seperti Toraja, Nias, Sabu, Flores, dan lainnya
juga memiliki tradisi megalitik sezaman tetapi tidak ada yang disertai
dihiasi arca dan relief indah seperti yang ditemukan di Sumba.
Pola Hias bangunan megalitik di Sumba
umumnya berupa pahatan tiga dimensi berbentuk arca serta pahatan dua
dimensi berbentuk relief. Pola hias tersebut sangat variatif dimana
dipengaruhi zaman, kepercayaan religius dan status pemiliknya. Ragam
relief tersebut pun kian kreatif dari masa ke masa berupa sulur, huruf
‘S’, atau lingkaran memusat warisan zaman pra sejarah. Ada pula yang
menggambarkan tokoh manusia, binatang, serta pola geometris dari masa
yang lebih muda.
Apabila Anda bertanya pada tetua adat di
banyak kampung adat di Sumba maka mereka akan menjelaskan tentang makna
dari relief indah tersebut. Ada yang terkait sifat kehalusan dan
kebijaksanaan seorang bangsawan yang biasanya dipahat dengan simbol
hewan atau benda alam seperti bulan dan bintang. Ada juga sifat
keagungan dan kebesarannya yang disimbolkan dengan benda-benda seperti
tombak, parang, pedang, serta bermacam ragam perhiasan. Ada pula berupa
hiasan hewan piaraan yang menjadi sumber inspirasi seperti kakatua,
kerbau, anjing, kuda, ikan, kadal, dan buaya.
Kubur batu di Sumba merupakan kubur
primer yang dipakai secara komunal oleh suami istri dan cucu-cucunya.
Jenazah anak kandung tidak dapat dikuburkan bersama jenazah orangtuanya
karena pandangan bahwa semasa hidup seorang anak yang telah dewasa dan
menikah tidak boleh tinggal sekamar dengan orangtuanya sehingga setelah
meninggal juga tidak boleh dikubur dalam kubur batu (odi) yang sama. Sementara jenazah cucu boleh disatukan dengan kubur kakek-neneknya.
Budaya megalitik di Pulau Sumba bukan
hanya terlihat jelas dari kubur batu melainkan juga diresapi secara
nyata dari agama adat yang mereka anut, yaitu Marapu. Kepercayaan asli
orang Sumba ini bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang serta meyakini
roh-roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dan
Sang Pencipta. Oleh karena itu, orang Sumba tidak pernah bisa jauh dari
kerabat yang telah meninggal dan untuk menjaga kedekatan itu mereka
mendirikan batu kubur tepat di depan rumahnya. Rumah adat dan batu kubur
merupakan satu paket adat budaya Sumba yang tidak terpisahkan, rumah
sebagai tempat tinggal yang masih hidup dan batu kubur sebagai tempat
tinggal yang telah telah meninggal.
Ada beberapa jenis kubur batu yang dapat Anda temukan di Sumba, yaitu: pertama, watu pawa'I berupa kubur batu besar berbentuk meja batu (dolmen)
yang ditopang beberapa batu bulat sebagai penyangga berjumlah 4 atau
hingga lebih. Kubur batu ini adalah untuk para raja dan golongan
bangsawan. Akan tetapi, jenis ini tidak selalu menjadi kuburan karena
ada juga yang dibangun hanya sebagai monumen agung dan berfungsi sebagai
kuburan biasanya dilengkapi batu kubur berukuran lebih kecil, persis di
bawah watu pawai. Kedua, watu Kuoba
adalah batu utuh yang dipahat membentuk peti dengan lempengan batu lebar
sebagai penutup. Batu jenis ini ada yang berhias ada pula yang tidak.
Pola reliefnya lebih sederhana dan terletak pada bagian peti batu. Jenis
ini umumnya dipakai sebagai kuburan golongan menengah dan keluarganya. Ketiga, koro watu
merupakan kubur batu dengan 6 lempengan batu yang disusun menjadi peti
batu dimana bagian pertama sebagai dasar, kedua sebagai penutup dan
empat bagian lainnya diletakkan pada masing-masing sisi. Jenis ini
biasanya langsung diletakkan di atas tanah tanpa perlengkapan lainnya. Keempat, kurukata merupakan varian lain dari koro watu dengan dua lempeng penutup bagian atas yang ditumpuk jadi satu. Kelima, watumanyoba
yaitu kubur batu sederhana dengan lempengan batu tanpa kaki yang
langsung diletakkan di tanah. Bentuknya ada yang berupa lempengan segi
empat, persegi panjang, bulat telur, dan lainnya. Jenis ini umumnya
digunakan sebagai kuburan bagi pelayan sehingga sering kali ditemukan
bersisian dengan kuburan para raja. Keenam, kaduwatu berupa kubur batu tegak lurus (penji)
yang berhiaskan beragam ukiran dan merupakan pasangan batu kubur lain,
terutama dari jenis Watu Pawa'i. Jenis ini biasanya berfungsi sebagai
pernanda arah kepala atau kaki mayat sekaligus sebagai simbol bangsawan.
Selain bentuknya yang beragam, kubur
batu di Sumba juga memiliki keunikan pada ukurannya yang sangat beraneka
ragam. Ukuran batu kubur batu tersebut berceritra tentang banyak hal
seperti status kebangsawanan dan kekayaan pemiliknya. Itu karena tidak
semua orang Sumba mampu mendirikan batu kubur besar dimana pengerjaannya
membutuhkan waktu, biaya dan tenaga. Dalam upacara kubur batu perlu
menyertakan puluhan ekor hewan kurban, seperti ayam, anjing, babi, sapi,
dan kerbau selama menjalankan ritual adat, mulai dari pemotongan batu
kubur, penarikan batu kubur hingga pengerjaan batu kubur. Jumlah hewan
kurban tersebut berkisar 50 ekor. Hal yang menarik juga adalah bila
ukuran kubur batu tersebut besar dan berat sehingga butuh banyak orang
menggotongnya agar tiba di kampung atau tujuan diamnya.
Untuk menemukan kubur batu di Sumba
pastinya sangat mudah karena dapat ditemukan di setiap sudut tempat di
berbagai belahan kampung. Akan tetapi, apabila Anda berhasrat menemukan
yang terbesar di Pulau Sumba maka datanglah ke Kampung Wailolung, Desa
Anajiaka, Kecamatan U.R. Nggay Barat. Jaraknya sekira 2 km dari Kota
Waibakul. Kuburan tersebut adalah peristirahatan terakhir Umbu Tipuk
Marissi yang merupakan Bupati Pertama Pulau Sumba.
Pilihan lain, coba datanglah ke Kampung
Gallu Bakul di Desa Malinjak, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Kabupaten
Sumba Tengah. Kubur batu di sana merupakan kubur batu terberat di Pulau
Sumba dengan berat mencapai lebih dari 80 ton. Kubur batu tersebut
disimpan sejak tahun 1983 sebagai tempat persemayam Umbu Sawola dan
keluarganya.
Di Kampung Uma Bara, Desa Watu Hadangu,
Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, sekira 67 km dari Waingapu ada kubur
batu megalitik di sejumlah kampung adat, seperti Kampung Raja Prailiu,
sekira 3 km dari Waingapu. Kampung adat dengan kubur batu di sana cukup
popular sebagai tempat tujuan wisata di Pulau Sumba
sumber :indonesia.travel/id/destination/718/sumba-menyentuh-tradisi-dari-zaman-batu-dan-keindahan-nan-alami/article/343/kubur-batu-sumba-lestarinya-budaya-megalitik-di-nusantara